Jakarta ,Targethukum.com – Janji kampanye Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk membuka 19 juta lapangan pekerjaan kini mulai dipertanyakan masyarakat. Alih-alih bertambah, realitas di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya—gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus meningkat.
Terbaru, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu raksasa industri tekstil Indonesia, mengumumkan akan melakukan PHK massal terhadap 10 ribu pekerja sepanjang 2025. Keputusan ini menjadi sinyal kuat bahwa ketidakpastian ekonomi semakin nyata, terutama bagi sektor padat karya yang bergantung pada daya beli masyarakat dan stabilitas industri.
Selama kampanye Pilpres 2024, Gibran bersama pasangannya, Prabowo Subianto, menjadikan penciptaan lapangan kerja sebagai salah satu janji utama mereka. Target ambisius 19 juta lapangan pekerjaan pun digaungkan sebagai solusi untuk mengatasi tingginya angka pengangguran pascapandemi dan perlambatan ekonomi global.
Namun, fakta di lapangan justru bertolak belakang. Gelombang PHK terus terjadi, tidak hanya di sektor tekstil tetapi juga di industri manufaktur, ritel, dan teknologi. Sejumlah perusahaan besar telah mengurangi jumlah karyawan mereka, mencerminkan situasi ekonomi yang tidak kondusif bagi penciptaan lapangan kerja baru, Minggu (2/3/2025).
Keputusan Sritex untuk memangkas 10 ribu pekerja bukanlah tanpa sebab. Perusahaan yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah ini sebelumnya telah mengalami kesulitan finansial hingga akhirnya divonis pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada Oktober 2024.
Meski pemerintah berupaya menyelamatkan Sritex melalui berbagai intervensi, realitas bisnis berbicara lain. Permintaan produk tekstil yang menurun, tekanan dari industri fast fashion global, serta melemahnya daya beli masyarakat membuat perusahaan ini harus mengambil keputusan sulit.
Jika kondisi ini terus berlanjut, maka dampaknya tidak hanya dirasakan oleh 10 ribu pekerja yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga oleh ekonomi lokal Sukoharjo, yang selama ini bergantung pada keberlanjutan operasional Sritex.
Seiring dengan meningkatnya gelombang PHK, masyarakat pun mulai mempertanyakan: di mana bukti dari janji 19 juta lapangan pekerjaan itu?
Hingga saat ini, belum ada kebijakan konkret dari pemerintah yang benar-benar menunjukkan arah penciptaan lapangan kerja dalam skala besar. Jika tidak ada langkah nyata untuk menahan laju PHK dan mendorong investasi baru, bukan hanya kepercayaan rakyat yang terkikis, tetapi juga kredibilitas Gibran sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas janji-janji kampanyenya.
Bagi para pekerja yang kehilangan pekerjaan, janji politik tanpa realisasi hanya akan menjadi narasi kosong. Jika tidak segera ada langkah konkret, maka yang terjadi bukanlah Indonesia dengan 19 juta lapangan kerja baru, melainkan Indonesia dengan pengangguran yang semakin tinggi.
Di Indonesia, janji kampanye seorang pemimpin negara tidak memiliki konsekuensi hukum secara langsung karena dianggap sebagai bagian dari strategi politik, bukan sebagai perjanjian hukum yang mengikat secara perdata maupun pidana. Namun, ada beberapa pasal dalam hukum Indonesia yang dapat dikaitkan dengan janji yang tidak ditepati, tergantung pada konteksnya:
- Pasal 378 KUHP – Penipuan.
Jika janji tersebut mengandung unsur kesengajaan untuk menipu rakyat, bisa saja dikenakan Pasal 378 KUHP tentang penipuan, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, membujuk orang supaya menyerahkan sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Meski demikian, pembuktian bahwa seorang pemimpin sengaja menipu rakyat dengan janji kampanye sangat sulit karena sifatnya subjektif dan harus dibuktikan bahwa ada unsur kesengajaan menyesatkan rakyat.
- Pasal 242 KUHP – Sumpah Palsu.
Jika janji yang dibuat oleh seorang pemimpin terkait dengan sumpah jabatan, dan ternyata ia dengan sengaja tidak menepatinya, maka bisa dikaitkan dengan Pasal 242 KUHP tentang sumpah palsu, yang menyatakan:
“Barang siapa dalam hal-hal yang oleh peraturan perundang-undangan diharuskan mengucapkan sumpah atau diperbolehkan mengucapkan sumpah, memberikan keterangan palsu setelah bersumpah, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Namun, pasal ini lebih sering digunakan dalam persidangan hukum, bukan dalam konteks janji politik.
- Pasal 7A dan 7B UUD 1945 – Pemakzulan Presiden/Wakil Presiden.
Jika janji politik yang tidak ditepati berujung pada pelanggaran konstitusi, korupsi, atau tindakan tercela, maka Presiden/Wakil Presiden bisa dikenakan Pasal 7A UUD 1945 tentang pemakzulan:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Jika janji politik yang dilanggar berkaitan dengan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau tindakan tercela, maka pemimpin tersebut dapat dimakzulkan melalui mekanisme hukum dan politik.
Secara hukum, janji kampanye lebih bersifat moral dan politis dibandingkan yuridis. Tidak ada pasal spesifik yang bisa langsung menjerat pemimpin yang gagal memenuhi janji politiknya. Namun, jika janji tersebut terbukti mengandung unsur penipuan, kebohongan publik, atau pelanggaran hukum lainnya, maka pasal-pasal seperti Pasal 378 KUHP (penipuan), Pasal 242 KUHP (sumpah palsu), atau Pasal 7A UUD 1945 (pemakzulan) bisa menjadi dasar hukum untuk menindaklanjuti persoalan tersebut.
Pada akhirnya, pertanggungjawaban politik lebih besar daripada pertanggungjawaban hukum dalam kasus janji kampanye yang tidak ditepati. Rakyat memiliki kekuatan untuk menilai dan memberi hukuman dalam bentuk protes, kritik, atau tidak memilih kembali pemimpin tersebut di pemilu berikutnya.
Para pakar politik menilai bahwa janji kampanye yang disampaikan oleh calon pejabat publik seringkali tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hal ini disebabkan karena janji-janji tersebut lebih bersifat sebagai visi, misi, dan program kerja yang ditujukan untuk menarik simpati pemilih, bukan sebagai perjanjian yang dapat dituntut secara hukum.
Menurut analisis yang disampaikan oleh Makmun Masduki, SH. MH., anggota majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kegagalan pejabat publik dalam memenuhi janji kampanye tidak dapat dianggap sebagai wanprestasi. Hal ini karena janji politik tidak memenuhi kriteria sebagai perjanjian yang mengikat secara hukum.
Selain itu, survei yang dilakukan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menunjukkan bahwa sekitar 85% pemilih tidak pernah menagih janji kampanye calon legislatif setelah mereka terpilih. Hal ini menunjukkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengawasi dan menuntut realisasi janji politik.
Dalam konteks hukum, tidak ada aturan yang secara eksplisit mengatur bahwa janji politik dapat digugat. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih kritis dalam memilih pemimpin dan aktif dalam mengawasi pelaksanaan janji-janji yang disampaikan saat kampanye. Selain itu, diperlukan mekanisme yang lebih efektif untuk memastikan akuntabilitas pejabat publik terhadap janji-janji politik mereka.
(TIM/Red)*