Jakarta,Targethukum.com-Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) menjadi kontributor penting memangkas emisi Indonesia, bahkan
faktor emisi dari sub-sektor pembangkit pada tahun 2050 jauh berkurang menjadi hanya 3% saja
dibandingkan kebijakan tanpa percepatan, demikian disampaikan Mahawan Karuniasa, Pakar
Lingkungan Universitas Indonesia pada Seminar Transisi Energi Menghadapi Perubahan Iklim diYar g et
Universitas Sumatera Utara.
Seperti diketahui, Badan Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organisation (WMO)
memperingatkan temperatur global kemungkinan besar akan terlampaui diatas 1,5 derajad Celsius
secara temporer pada 5 tahun kedepan. Tentu saja hal ini akan berdampak pada meningkatnya bencana
hidrometeorologis seperti banjir, longsor, dan angin ekstrem di Indonesia. Transisi energi sangat penting
untuk menghadapi perubahan iklim dan pada saat bersamaan untuk memenuhi kebutuhan energi yang
terus meningkat karena pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kesejahteraan.
Guru Besar Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Rahmawaty menyampaikan bahwa dalam
implementasi transisi energi, pembangunan pembangkit listrik dilapangan dapat diintegrasikan dengan
manajemen konservasi serta pelestarian ekosistem hutan. Seminar juga menghadirkan Dirjen EBTKE,
Zeira Salim Ritonga Anggota DPRD Sumatera Utara, serta Baharuddin, Guru Besar dari Universitas Negeri
Medan. Sesuai Agenda Net Zero Emission (NZE), Indonesia akan mencapai emisi bersih atau seimbang
antara emisi dan penyerapan yang dilakukan pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Mahawan Karuniasa, Pendiri/CEO Environment Institute sekaligus pengamat lingkungan Universitas
Indonesia menambahkan bahwa sumber emisi Indonesia akan beralih dari aktivitas berbasis lahan ke
sumber emisi dari sektor energi, sehingga agenda energi bersih Indonesia perlu prioritaskan PLTA selain
penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) maupun Carbon Capture Utilization and Storage.
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) menjadi kontributor penting memangkas emisi Indonesia, bahkan
faktor emisi dari sub-sektor pembangkit pada tahun 2050 jauh berkurang menjadi hanya 3% sajadibandingkan kebijakan tanpa percepatan, demikian disampaikan Mahawan Karuniasa, PakarLingkungan Universitas Indonesia pada Seminar Transisi Energi Menghadapi Perubahan Iklim diUniversitas Sumatera Utara.
Seperti diketahui, Badan Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organisation (WMO)
memperingatkan temperatur global kemungkinan besar akan terlampaui diatas 1,5 derajad Celsius
secara temporer pada 5 tahun kedepan. Tentu saja hal ini akan berdampak pada meningkatnya bencana
hidrometeorologis seperti banjir, longsor, dan angin ekstrem di Indonesia. Transisi energi sangat penting
untuk menghadapi perubahan iklim dan pada saat bersamaan untuk memenuhi kebutuhan energi yang
terus meningkat karena pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kesejahteraan.
Guru Besar Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Rahmawaty menyampaikan bahwa dalam
implementasi transisi energi, pembangunan pembangkit listrik dilapangan dapat diintegrasikan dengan
manajemen konservasi serta pelestarian ekosistem hutan. Seminar juga menghadirkan Dirjen EBTKE,
Zeira Salim Ritonga Anggota DPRD Sumatera Utara, serta Baharuddin, Guru Besar dari Universitas Negeri
Medan. Sesuai Agenda Net Zero Emission (NZE), Indonesia akan mencapai emisi bersih atau seimbang
antara emisi dan penyerapan yang dilakukan pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Mahawan Karuniasa, Pendiri/CEO Environment Institute sekaligus pengamat lingkungan Universitas
Indonesia menambahkan bahwa sumber emisi Indonesia akan beralih dari aktivitas berbasis lahan ke
sumber emisi dari sektor energi, sehingga agenda energi bersih Indonesia perlu prioritaskan PLTA selain
penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) maupun Carbon Capture Utilization and StorageCCUS) pada pembangkit yang masih menggunakan batubara
Red