Tangsel, Targethukum.com,
Sebuah kasus perkosaan dan pelecehan seksual yang menimpa tiga orang putri di bawah umur mengguncang ketenangan warga di Jalan Majelis Taklim RT. 002 RW. 04, Kelurahan Buaran, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan. Ketiga korban, yang masih berusia 7 tahun, diduga menjadi sasaran kebiadaban seorang pria berinisial RG, yang tak lain adalah tetangga mereka sendiri.
Kisah kelam ini mulai terungkap pada Senin, 9 Juni 2025, ketika salah satu orang tua korban, Tubagus Djaeni, membeberkan kronologi memilukan kepada awak media. Menurut djaeni, dua dari tiga putri telah menjadi korban persetubuhan, sementara satu lainnya berhasil lolos dari perkosaan meskipun sempat mengalami pelecehan.
“Anak saya sempat berteriak kesakitan saat pelaku (RG) mulai melecehkannya dengan tangan di kemaluan,” tutur Djaeni dengan suara bergetar. Teriakan itu, syukurlah, membuat RG mengurungkan niatnya untuk memperkosa salah seorang korban (BB), namun tidak bagi kedua korban (WW) dan (UR) yang telah terlanjur menjadi korban.
Terungkapnya Tabir Gelap
Sebelum insiden ini terkuak, Djaeni menceritakan bahwa putrinya, yang sebut saja (UR), pernah mengalami kejang-kejang, menggigil, dan demam tinggi. Orang tua (UR) berasumsi anaknya hanya sakit biasa dan memberikan obat seperti biasanya. Mereka tak menyadari bahwa di balik gejala fisik itu, UR menyimpan trauma yang amat dalam akibat perbuatan bejat RG.
Tabir kejahatan ini akhirnya tersingkap secara tidak sengaja. Pada suatu hari di hari Senin (09/06/2025), istri pelaku, (NR), tiba-tiba memarahi dan membentak-bentak (UR). “Sini luh,..jangan di rumah bae,..sini luh biar gua tonjokin, gua bejak-bejak luh…” teriak NR dengan nada emosi.
Mendengar keributan itu, istri Djaeni keluar rumah dan bertanya kepada NR mengapa ia memarahi anaknya yang masih kecil. Tak disangka, jawaban NR justru membuka kotak pandora kejahatan yang selama ini tersembunyi. “Anak luh itu suka main pelorotin celana laki gua,” jawab NR, menuduh UR telah melecehkan suaminya.
Hati sang ibu hancur mendengar tuduhan tak masuk akal itu. Ia segera menanyakan langsung kepada UR. Dengan polos, UR membantah tuduhan tersebut. “Tidak bu, justru dia (RG) menutup pintu kamarnya dan melakukan itu kepada saya,” ujar UR, menjelaskan kenyataan pahit yang dialaminya.
Sejak saat itulah, keluarga Djaeni mengetahui bahwa UR telah berulang kali menjadi korban perkosaan RG. Pelaku tak hanya mengancam Putri agar tidak menceritakan perbuatannya kepada orang tua, tetapi juga melakukan hal serupa kepada dua korban lainnya, yang diidentifikasi dengan inisial WW dan BB.
Penanganan Kasus dan Dukungan Korban
Berkat keberanian keluarga korban untuk melapor, pelaku RG berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian pada Senin, 9 Juni 2025. Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Tangsel, Tri Purwanto, menjelaskan bahwa pihaknya telah memberikan pendampingan intensif kepada para korban.
“Kami sudah mendampingi laporan hukum ke Polres Tangsel dan memberikan edukasi hukum serta konsultasi untuk mengurangi trauma korban,” ujar Tri Purwanto. Ia menambahkan bahwa UPTD PPA juga akan menjadwalkan layanan psikologi bagi para korban pada Selasa, 17 Juni 2025, minggu ini.
Mengenai hasil visum dari RSUD, Tri menjelaskan bahwa dokumen tersebut merupakan kewenangan penuh Polres Tangsel dalam penanganan kasus. “Kami hanya fokus pada layanan hukum dan psikologi untuk korban,” tegasnya.
Kasus ini menjadi pengingat pahit akan kerentanan anak-anak terhadap kejahatan seksual. Penting bagi kita semua untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku anak-anak dan menciptakan lingkungan yang aman bagi tumbuh kembang mereka.
Upaya Damai Keluarga Pelaku dan Ketidakpastian Hukum
Setelah kasus ini mencuat ke publik dan RG berhasil ditangkap, muncul dinamika baru yang cukup mencemaskan. Keluarga pelaku RG, melalui berbagai cara, berupaya mendekati keluarga korban untuk menempuh jalan damai. Berbagai tawaran pun disampaikan, dengan harapan kasus ini tidak berlanjut ke ranah hukum yang lebih serius.
“Pihak keluarga pelaku terus meneror dan berupaya bertemu dengan kami, mencoba mengajak damai,” ungkap Djaeni, membenarkan upaya tersebut. Namun, Djaeni dan istrinya menolak tegas. Bagi mereka, apa yang telah menimpa putri-putrinya adalah kejahatan serius yang harus diproses secara hukum. “Ini bukan soal uang atau materi, ini soal masa depan anak-anak kami yang sudah dirusak,” tegas Djaeni dengan nada pilu.
Situasi ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan kekhawatiran bagi keluarga korban. Meskipun pelaku telah ditangkap, adanya upaya damai dari pihak pelaku seringkali menjadi celah bagi kasus-kasus seperti ini untuk tidak diproses tuntas di pengadilan. Trauma psikologis yang mendalam pada korban juga dikhawatirkan akan semakin parah jika kasus ini tidak mendapatkan keadilan yang semestinya. Keluarga korban berharap penegak hukum dapat berdiri teguh pada prinsip keadilan dan memastikan bahwa pelaku menerima hukuman yang setimpal, tanpa terpengaruh oleh intervensi apapun.
(Red*)