Jacob Ereste : BEM Tandingan Pun Berhak Viral dan Diviralkan

JAKARTA, – |www.targethukum.com
Kalau pun benar tentang kabar adanya BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) tandingan yang dibayar, baguslah. Karena dengan begitu dapat lebih meyakinkan masing-masing pihak, keberadaannya dimana dan berpihak kepada siapa ?

Bagi kalangan aktivis sejati jelas akan selalu berpihak kepada BEM yang berada di belakang rakyat dengan segenap hak dan kepentingannya yang harus dan wajib dilindungi bersama.

BEM tandingan itu wajar saja ikut ambil peran dan kesempatan, meski didalam kesempitan dan kesusahan orang lain. Minimal bagi mereka yang susah, biarlah bisa dapat sedikit dikurangi, hingga kemungkinan bagi mereka itu untuk menjadi penjahat yang lebih berbahaya terhadap bangsa dan negara bisalah sedikit dikurangi jimlahnya di negeri ini.

Dari perspektif perburuhan, justru BEM tandingan itu membuktikan UU Omnibus Law Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 mulai berhasil. Maka itu dari perspektif perburuhan bisa mendapat exuse (tepo seliro) yang lebih afdol. Karena bisa mengurangi jumlah pengangguran yang sukar dikendalikan oleh pemerinrah. Toh, lebih enak BEM tandingan bisa punya pekerjaan sambil kuliah. Apalagi jika dibayar mahal.

Justru kalau tidak dibayar, itu bisa menjadi persoalan. Sebab untuk memahami keinginan mereka yang militan tanpa dibayar, pasti lebih sulit untuk dijelaskan agar dapat masuk akal yang sehat.

Jadi penjelasan untuk dapat memahami secara logik dari barisan BEM tandingan yang pasti mendapat bayaran yang mahal itu jadi semakin susah kalau mereka tidak dibayar.

Setidaknya untuk diperkarakan di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) seperti yang bisa ditempuh oleh kaum buruh, akan mengalami kesulutan. Meski untuk menang saja bagi buruh yang melakukan perlawanan secara hukum lewat PHI itu tetap dominan kalah. Karena realitasnga lebih banyak yang terjadi pada kasus buruh yang umumnya di PHK sepihak oleh pihak perusahaan itu dominan yang kalah. Sebab buruh tidak bisa main belakang dengan semua pihak yang ada di balik PHI itu tadi. Lain cerita bagi pengusaha yang memang punya duit.

Jadi untuk bisa
menjelaskan BEM tandingan itu tidak dibayar, memang sulit diterima akal sehat. Karena itu menjadi wajar keberadaannya dapat diyakini begitulah adanya.

Lalu apa yang menjadi masalah jika BEM bayaran itu benar ada ?

Bagi banyak orang lain — yang bisa ikut melihat serta memperhatikan dari perspektif lain — jika tak bisa dikatakan positif thinking — sepatutnya dapat dipahami juga untuk bisa lebih meyakinkan BEM yang murni itu sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan dan suara rakyat. Jadi BEM bayaran itu bisa disopisikan sebagai sparing untuk menguji tsahih tidaknya faksun politik BEM yang sejati.

Dalam statuta perguruan tinggi toh sikap jujur itu menjadi bagian terpenting yang dipegang oleh semua civitas akademika, tidak kecuali mahasiswa dan rektor — yang kemudian justru berseteru — demi dan untuk mempertahankan kepentingannya.

Jadi apapun yang terjadi kemudian — lahirnya BEM tandingan, culasnya dosen yang pandir itu justru menuding mahasiswanya yang pandir — cukuplah menjadi bahan sandingan untuk penilaian bagi publik. Toh, efeknya lebih nyata, telah bisa membuka kebobrokan sang rektor yang terkesan telah mengencingi statuta perguruan tinggi yang seharusnya mesti dijunjung tinggi itu.

Mungkin saja persekongkolan besar — jika tak bisa disebut sindikat — dalam penunjukan sang rektor untuk menjabat pimpinan tertinggi di perguruan tinggi yang merangkap itu tidak akan terkuak, bila saja mahasiswa terus dibungkam seperti waktu-waktu sebelum gegernya kritikan yang menonjok Presiden itu menjadi viral dan membangunkan tidur mahasiswa di Indonesia pada umumnya.

Kini mereka bangkit, juga ikut Menggeliat di daerah-daerah lainnya juga bangkit. Tak lagi asyik main games lewat hp sambil minum kopi di kantin sepanjang hari.

Minimal dalam persekongkolan pengangkatan seorang rektor pun telah dibuka oleh Ombudsman ada pembiaran mal-administrasi yang dilakukan pemerintah untuk sang rektor menjabat Wakil Komisaris Bank BRI yang juga milik pemerintah. Dan Ombudsman menyatakan sang rektor jelas telah melanggar Peraturan Pemerinrah No. 68 Tahun 2013.

Sebelumnya pun statuta yang dikencingi itu telah membuat busuk pasal 13 hingga seperti tidak lagi berlaku. Hasil investigasi Tempo.Co, 30 Juni 2021 jelas menyebut soal rangkap jabatan, Rektor UI, Majelis Wali Amanat tegas menuding Ari Kuncoro telah melanggar statuta Universitas Indonesia. Lalu, keculasan inikah yang kemudian hendak dibela dan diselamatkan oleh BEM bayaran itu ?

Biarlah, sejarah tetap akan terus mencatat, meski tak satu pun mungkin diantara mereka — sebagai aparatur dan pejabat dari pemerintahan — yang tak percaya pada kerjanya malaikat yang ikut menyaksikan kedegilan mereka semua.

Salam Indonesia sehat,
Banten, 1 Juli 2021

*G

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *