SAMPANG, Targethukum.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor : 135/PUU-XXII/2024 merupakan fondasi baru tata kelola Demokrasi dan rekonsiliasi Pemilu serentak di Indonesia
Pasalnya putusan MK tidak hanya bersifat normatif tapi juga Politik dalam artian Konstitusional Politik (constitutional politics) karena menyangkut struktur dan mekanisme kelembagaan Demokrasi sehingga putusan tersebut memiliki implikasi sistemik yang sangat signifikan
Pernyataan itu disampaikan oleh Anwar Sanusi Anggota Komisi II DPRD Sampang di Cafe Unique selasa 1/7
Politisi Partainya Golkar asal Kecamatan Kedungdung ini memulai ulasannya dari Karakter serta Kewenangan MK : Posisi Institusional dan Konstitusional, MK merupakan Lembaga Yudikatif yang diatur dalam pasal 24C UUD 1945 dengan kewenangan utama menguji undang undang terhadap UUD (judicial review) sehingga dalam konteks Negara Hukum (rechtsstaat), fungsi MK sebagai Penjaga konstitusi (guardian of constitution), penafsir autentik konstitusi (interpreter of constitution) sekaligus pengawal Demokrasi (guardian of democracy) Untuk objek Uji dan Permohonan Judicial Review oleh PERLUDEM, Pemohon ini menguji konstitusionalitas pasal 167 ayat (3) UU no 7 tentang Pemilu dan UU no 10 tahun 2016 tentang Pilkada, PERLUDEM meminta agar MK menilai apakah Pemilu secara serentak dalam satu waktu (Presiden, DPR, DPD, DPRD dan Pilkada) melanggar prinsip konstitusi terutama terkait efektivitas Demokrasi, rasionalitas Pemilih, profesionalitas Penyelenggara serta hak konstitusional warga Negara untuk berpartisipasi secara maksimal
Diungkap, Pokok Putusan MK nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang Amar Putusan (Substansi inti), bahwa MK memutuskan Pemilu harus dibagi dua tahap yaitu Pemilu serentak Nasional ; memilih Presiden/Wakil Presiden, DPR dan DPD serta Pemilu serentak Daerah ; memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota
Adapun dalam pertimbangan serta rasionalisasi MK disampaikan ratio decidendi utama yakni menyederhanakan proses Pemilu agar tidak terjadi penumpukan tekhnis dan administratif, meningkatkan kualitas Demokrasi karena Pemilih bisa lebih fokus memahami visi misi calon Legislatif di setiap level serta mengurangi beban Penyelenggara khususnya KPU, Bawaslu dan DKPP agar tidak terulang beban logistik serta psikis ekstrim seperti yang terjadi pada Pemilu tahun 2019Lebih lanjut disampaikan, tentang Analisis Yuridis- Konstitusional dalam perspektif teoritis dan praktis, secara prinsip kepastian hukum serta kejelasan norma bahwa Putusan ini sejalan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum sehingga Pemilu serentak tunggal pada satu hari menimbulkan ambiguitas sistemik dalam Demokrasi prosedural, dan dengan pembagian dua tahap maka sistem akan lebih rasional, terstruktur maupun konstitusional
konstitusional”Hal ini akan mendukung doktrin efektivitas hak pilih yang mensyaratkan Pemilih dapat membuat pilihan secara sadar dan kritis,” imbuhnya
Kemudian secara prinsip Partisipasi dan Kedaulatan rakyat, Putusan tentang pembagian ini telah menegaskan prinsip kedaulatan rakyat (pasal ayat 2 UUD 1945) dalam dimensi substantif, Pemilu yang terlalu kompleks mereduksi kualitas deliberasi politik karena Pemilih terpaksa memilih paket secara massal tanpa pembeda argumentatif diantara calon Legislatif lokal maupun Nasional, sehingga dengan dua tahap Pemilih dapat memahami isu isu lokal dan Nasional secara terpisah yang berpotensi meningkatkan rasionalitas partisipasi politik
Masih menurut Anwar Sanusi, secara aspek tekhnis Penyelenggaraan dan Perlindungan Hak Konstitusional, pada Pemilu 2019 beban tekhnis terbukti mengakibatkan lebih dari 894 Petugas KPPS meninggal dan ribuan lainnya sakit dalam skala Nasional sehingga kejadian tersebut dapat dianggap sebagai bentuk pengabaian hak konstitusional Penyelenggara atas keselamatan dan perlindungan kerja yang layak (pasal 281 dan pasal 27 UUD 1945) dan Putusan MK ini telah mengedepankan hukum progresif (Satjipto Rahardjo) bahwa hukum harus berpihak pada kemanusiaan bukan hanya prosedural
Berdasarkan pandangan Dimensi Politik Hukum dan Prospek Implementasi menurut Anwar Sanusi, Putusan ini mengandung Politik hukum rekonstruktif, tidak hanya mengoreksi norma tetapi mengubah desain Institusional Pemilu, tetapi tantangan implikasinya tidaklah ringan karena masih membutuhkan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada, sinkronisasi waktu jabatan Pejabat Eksekutif serta Legislatif Daerah dan kesiapan Anggaran maupun logistik Penyelenggara, namun ditegaskan kembali bahwa Putusan MK bersifat Final dan Mengikat sehingga Pemerintah serta DPR wajib segera melakukan harmonisasi legislasi dan kebijakan publik
Ia menyebut dampak positif terhadap kualitas Demokrasi, dengan pemisahan tahapan maupun pelaksanaan ini maka akan berpotensi membentuk Parlemen yang lebih independen serta representatif, karena yang terjadi sebelumnya pemilihan Calon DPR cenderung mengekor terhadap dinamika lokal yang terjebak dalam elektoral serentak, visi misi pun menjadi kabur dan tahapan kampanye lebih kepada transaksional
Selain itu, dengan pemilihan terpisah akan ada lebih banyak ruang kontestasi ide, gagasan serta program genuin, hal ini selaras dengan teori “responsive representation (Pitkin) bahwa Parlemen yang efektif harus mampu merespon kebutuhan publik bukan sekedar mengekor koalisi elektoral
Ditambahkan, Putusan MK tersebut merupakan langkah dan momentum yang visioner, artinya Putusan MK nomor 135/PUU-XXII/2024 adalah langkah monumental dalam reformasi tata kelola Demokrasi elektoral di Indonesia, Putusan ini tidak hanya koreksi teknis terhadap norma UU, tetapi juga penguatan etika konstitusional dan rasionalitas Pemilu sebagai sarana artikulasi kehendak rakyat, karena Demokrasi tidak hanya diukur dari tingginya tingkat partisipasi tetapi dari kemampuan sistem politik untuk menyediakan ruang deliberasi yang jernih serta berkeadilan dan MK telah membuka pintu bagi Demokrasi elektoral yang lebih sehat, sehingga ke depan beban berikutnya ada di pundak Legislator dan Penyelenggara Pemilu guna mewujudkannya dalam praktek.
(HK)