TANGERANG, Targethukum.com– Visi ‘Kota Tangerang yang berakhlak mulia’ yang digaungkan Walikota H. Sachrudin kini dipertanyakan. Publik menuntut pertanggungjawaban langsung darinya setelah terungkapnya skandal anggaran Dinas Lingkungan Hidup (DLH) yang sarat kejanggalan, menguak dugaan korupsi berjamaah di tengah amburadulnya layanan publik.
DLH Kota Tangerang bukan lagi sekadar dinas yang lalai, melainkan entitas yang disorot tajam karena skandal keuangan dan operasional yang tumpang tindih. Isu ini mencakup lonjakan anggaran misterius, proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PSEL) yang tak lebih dari proyek fiktif, hingga pemungutan retribusi yang terkesan mencekik di tengah layanan yang memprihatinkan.
Lubang Hitam Anggaran PSEL: Duit Mengalir ke Proyek Tak Jelas
Publik dibuat geram oleh lonjakan anggaran DLH yang membengkak tanpa alasan jelas. Dari semula Rp 225 miliar, tiba-tiba melonjak menjadi Rp 261 miliar. Kenaikan Rp 36 miliar ini diklaim untuk “penyesuaian prioritas PSEL,” namun rinciannya tak bisa dipertanggungjawabkan.
“Ini tidak lazim. Ada usulan penambahan anggaran untuk kegiatan pendukung persiapan penajaman PKS PSEL, tapi proyeknya sendiri tidak ada kejelasan,” ungkap Kapreyani, S.H,. M.H,. Ketua LPKL-NUSANTARA.
Ia menegaskan, kenaikan anggaran ini diduga kuat sebagai ‘akal-akalan’ untuk menguras kas daerah, sementara armada pengangkut sampah yang sudah uzur dibiarkan tanpa peremajaan.
Proyek PSEL yang digadang-gadang sebagai solusi inovatif ternyata hanya proyek hantu. Meski kerja sama dengan PT Oligo Infra Swarna Nusantara (OISN) sudah tamat sejak 2018, Pemkot nekat mengalokasikan dana besar untuk proyek yang tak berprogres.
Pengakuan Kepala DLH Wawan Fauzi yang menyebut “tidak ada progres signifikan” dari Oligo semakin menguatkan dugaan bahwa proyek ini hanya topeng untuk melegalisasi aliran dana gelap.
Retribusi Naik, Pelaku Usaha Tercekik: Layanan Buruk Terus Disubsidi
Di tengah semua kejanggalan ini, Pemkot justru membebankan retribusi sampah baru kepada seluruh pelaku usaha, dari hotel mewah hingga warung kecil, melalui Perda Nomor 1 Tahun 2025. Kebijakan ini adalah bentuk pemerasan, di mana masyarakat dipaksa membayar lebih untuk layanan yang terus menerus buruk.
“Kami bayar retribusi, tapi sampah tetap telat diangkut. Sekarang kami disuruh bayar lebih mahal, apa jaminan layanannya akan membaik?,” keluh seorang pemilik restoran di Cikokol, menyoroti janji manis yang tak pernah menjadi kenyataan.
Mantan Kepala DLH Tersangka
Bukti Nyata Kelalaian Berjamaah
Skandal ini diperparah dengan penetapan mantan Kepala DLH, TS, sebagai tersangka oleh penyidik Gakkum KLH atas dugaan kelalaian mengelola TPA Rawa Kucing. Pelanggaran serius—mulai dari pembuangan air lindi langsung ke lingkungan, kapasitas TPA yang melampaui batas, hingga tidak adanya persetujuan teknis—menjadi bukti nyata kegagalan sistematis yang selama ini diabaikan.
“Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang telah lalai atau mengabaikan pengelolaan TPA Rawa Kucing dengan baik. LSM lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan mewakili warga,” kata Kapreyani, menegaskan hak publik untuk melawan kelalaian yang merugikan ini.
Walikota H. Sachrudin kini dihadapkan pada pertanyaan mendesak: apakah visi ‘Tangerang yang berakhlak mulia’ hanya retorika kosong? Publik menanti penjelasan, bukan sekadar janji, untuk mengembalikan kepercayaan yang telah runtuh di bawah tumpukan sampah dan skandal anggaran yang busuk.
(Red/tim)