Korban Tidak Diperlakukan Adil Ketua PN Jakarta Selatan Diduga Langgar Kode Etik
JAKARTA,targethukum.com
Etika profesi hakim adalah berdasarkan asas-asas moralita yang wajib dijunjung oleh setiap orang yang menyandang profesi sebagai Hakim.
Setiap Hakim dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, yakni kemampuan dan
keterampilannya untuk melaksanakan efesiensi dan efektifitas putusan. Baik dari segi penerapan hukum, maupun kemampuan mempertimbangkan putusan berdasarkan nilai- nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, serta kemampuan
memprediksi reaksi dan dampak sosial atas putusan yang telah dijatuhkannya.
Profesionalisme ini merupakan salah satu sisi dari mata uang “profesi”, disamping sisi etika
profesi. Namun bagaimana bila seorang hakim malah berlaku berat sebelah dan membela pihak yang sudah jelas-jelas salah dan ikut menindas orang yang tak bersalah?
Sementara Dirjen Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM RI, Dr. Mualimin Abdi, sudah meminta kepada Kapolda Metro Jaya untuk segera melakukan evaluasi agar menghentikan Laporan Polisi dari PT Elite Prima Hutama (PT EPH) grup pengembang properti Pakuwon Jati Tbk,
terhadap salah satu pembeli unit apartemennya, Ike Farida.
Kuasa hukum Ike, Putri Mega Citakhayana, S.H., juga sudah melaporkan kasus Ike tersebut ke Kemenkumham karena PT EPH dipandang sudah terlalu arogan, bahkan bisa disebut nekat melawan putusan pengadilan.
“Ike yang menang dan itu dibuktikan dengan adanya empat putusan final yang dimilikinya. Diantaranya berupa: Putusan MA RI kasus konsinyasi, Putusan dari Mahkamah Konstitusi, Putusan PK dari MA RI, dan Putusan Perlawanan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Semua putusan tersebut tegas-tegas memenangkan Ike dan isi putusannya
memerintahkan kepada pengembang untuk menyerahkan unit milik Ike beserta kunci dan segera melaksanakan AJB,” papar Putri.
Namun Empat Putusan ini tetap diabaikan PT EPH, pengembang nakal milik
Pakuwon Jati Tbk, dan lucunya malah melaporkan pembelinya ke Polda Metro Jaya yang kemudian oleh Unit 5 Jatanras Direskrimum, Ike Farida dijadikan Tersangka.
Padahal, Rekomendasi itu muncul karena telah ada Putusan PN Jaksel No.
119/Pdt.Bth/2022/PN.Jkt. Sel tanggal 3 Agustus 2022 yang menyatakan bahwa PT EPH adalah pelawan yang tidak benar dan menolak perlawanan pelawan untuk seluruhnya. Terkait hal ini, Mualimin juga sampaikan bahwa PT. EPH sudah seharusnya mematuhi putusan PN Jaksel tersebut.
Ironisnya, enigma
pelaksanaan putusan eksekusi ini malah diperparah oleh Ketua PN Jaksel karena perilakunya yang seakan-akan membela PT EPH. Ike adalah pihak yang dimenangkan, namun PN Jaksel justeru tidak mengakomodir Ike dalam mendapatkan hak-haknya dengan membiarkan PT EPH tidak segera melaksanakan putusan.
Padahal seharusnya pengadilan segera mengeluarkan Penetapan Eksekusi, tetapi hal itu tidak kunjung dilakukan. Anehnya, Ketua PN Jaksel malah terkesan terus menunda-nunda dan membuat pelaksanaan
ekseksusi ini menjadi semakin lambat, ditambah dengan PT EPH yang juga kabur dari kewajibannya.
Hingga pada 1 September 2022, tim kuasa hukum Ike menyerahkan hasil perundingan penyelesaian di luar pengadilan kepada PN Jaksel yang pada intinya tidak tercapai
kesepakatan penyelesaian di luar pengadilan sehingga sita eksekusi dapat kembali dilanjutkan.
Lucunya, PN Jaksel malah menolak untuk lakukan Sita Eksekusi karena
mempermasalahkan keabsahan Surat Kuasa dari Ike. Padahal terkait keabsahan surat kuasa
permohonan sudah diputus oleh majelis hakim pada Putusan Perlawanan No.
119/PDT/2021/PN.Jkt.Sel.
Kenyataannya, Surat Kuasa itu sudah memenuhi syarat sahnya surat kuasa khusus
sebagaimana tercantum di Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6/1994 tentang Surat Kuasa Khusus.
Selain itu, Ike juga sudah menjelaskan bahwa ia memberikan kuasa kepada timnya di Farida Law Office untuk mengajukan permohonan eksekusi. Sehingga dengan hal itu, sudah cukup beralasan jika PN Jaksel diduga telah melakukan pelanggaran Pasal 4 huruf a dan Pasal 5 Ayat 1 Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim dengan menunda pelaksanaan Sita Eksekusi tanpa alasan yang konkrit.
Dijelaskan dalam pasal-pasal tersebut, bahwa kewajiban seorang hakim adalah berperilaku adil; ia harus dapat memberikan perlakuan dan memberikan kesempatan yang sama terhadap setiap orang.
Menyikapi hal tersebut, Tim kuasa hukum Ike mengaku sedang bersiap untuk membuka perkara ini ke kancah organisasi
internasional, karena pembeli yang kawin dengan Warga Negara Asing (WNA) akan dikriminalisasi. Tak hanya itu, Ike pun merasa kecewa dengan PN Jaksel dan Kepolisian yang malah bisa-bisanya telah
memperlakukan masyarakat yang jujur seakan-akan semut lemah.
Hal ini tentunya mengecewakan Ike, yang juga seorang praktisi hukum dan diketahui sudah lama berkecimpung lebih dari 20 tahun sebagai seorang Pengacara.
Karena tidak adanya jaminan bahwa putusan pengadilan dapat ditegakkan secara efektif dan juga sudah mati-matian Ike dan timnya
memperjuangkan apa yang menjadi haknya serta demi melindungi korban-korban lain dari pengembang nakal agar apa yang terjadi pada Ike tidak terjadi pada orang lain.
“Sudahlah Indonesia dikecewakan oleh Kepolisian RI yang sedang memiliki banyak nilai
merah dalam rapornya, dan tentunya masyarakat juga tidak ingin semakin dibuat pedih oleh institusi
peradilan tanah air,” pungkas Putri.
Goesti