JAKARTA, -www.targethukum.com
Terkait dengan adanya fenomena sosial kasus pungutan liar (pungli) terhadap PKL diwilayah RW 10 Kelurahan Pasar Minggu, Kecamatan Pasar Minggu, Kota Administratif Jakarta Selatan, Mukhlis SH Praktisi dan Pemerhati Hukum dari Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) Pusat saat ditemui dan diminta tanggapannya,
menyatakan sangat prihatin dan miris atas praktik tidak terpuji tersebut.
“Disituasi pandemi seperti ini yang seharusnya para PKL mendapat bantuan, tapi nyatanya kok masih saja ada praktik memalukan yang menggunakan kekuasaan dengan menyalahgunakan wewenang memalak pedagang kecil (PKL),” geramnya.
Mukhlis memaparkan, Pungli (pemerasan) adalah tindakan pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dan dengan menyalahgunakan kekuasaaan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
“Tindak pidana ini harus diwaspadai oleh aparatur sipil negara, karena ancaman hukumannya cukup berat. Tidak sedikit, pejabat atau pegawai pemerintahan yang belum memahami dengan baik definisi pungli di lapangan. Pasalnya, pungli berpotensi terjadi pada kegiatan yang melibatkan pegawai pemerintahan dan jajaran dibawahnya dalam proses pelayanan,” ujar Mukhlis.
Berdasarkan Paraturan Presiden nomor 87 tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar menimbang bahwa praktik pungutan liar telah merusak sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga perlu upaya pemberantasan secara tegas, terpadu, efektif, efesien, dan mampu menimbulkan efek-jera, serta dalam upaya pemberantasan pungutan liar perlu dibentuk unit sapu bersih pungutan liar.
“Pungutan liar termasuk tindakan korupsi dan merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang harus diberantas,” tegasnya lagi.
Lalu apa sanksi bagi orang yang melakukan pungli ? Mukhlis memaparkan, setidaknya ada dua pasal pada KUHP yang dapat dikenakan pada pelaku praktik pungli yaitu:
1. Pasal 368 KUHP
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
2. Pasal 423 KUHP
Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Selain daripada dua pasal tersebut diatas, Jaksa Agung menyatakan, pelaku pungli juga bisa dijerat dengan UU Nomor 31 tahun 1999 jo. UU Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 12 huruf yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalah – gunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sementara itu, saat ditanyakan apa sanksi bagi Pejabat Pemerintah bila membiarkan bawahannya melakukan pungli atau Korupsi? Mukhlis SH menegaskan, ketika seorang penyelenggara negara (dalam hal ini pimpinan instansi pemerintah) membiarkan terjadinya korupsi di instansi yang dipimpinnya, maka dia telah mengesampingkan penyelenggaraan negara yang bersih. Yaitu penyelenggaraan negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya. Sebagaimana yang terdapat pada Pasal 1 ayat [2] Undang-undang No. 28 Tahun 1999.
Lebih jauh, penyelenggara negara tersebut dapat dianggap telah menyalah – gunakan kekuasaan dengan membiarkan dilakukannya korupsi pada instansi yang dipimpinnya dan dapat dijerat dengan Pasal 3 jo Pasal 23 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”). Pasal 23 UU Tipikor tersebut merujuk pula pada Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
“Seorang pejabat yang menyalah-gunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Namun, pidana terhadap perbuatan tersebut telah diperbarui dengan UU Tipikor menjadi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
“Jadi saya berpendapat bahwa setiap atasan yang mengetahui praktek pungli itu (korupsi) terjadi, tapi tidak melaporkannya ke kepolisian dapat dikenakan pasal penyertaan tindak pidana yaitu Pasal 56 KUHP.
Jadi, selain pelaku korupsi, setiap atasan – tak hanya atasan langsung si pelaku — yang terbukti membiarkan terjadinya korupsi, juga dapat dikenakan pidana,” tandas Mukhlis. (Team/Red)