Pokjawarkotu,TARGETHUKUM.COM – Kota Tua Jakarta, saksi bisu perjalanan panjang Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, kembali memikat hati para wisatawan. Dengan deretan bangunan bersejarah yang masih berdiri kokoh, kawasan ini menawarkan pengalaman unik untuk menjelajahi masa lalu.
Beberapa diantaranya adalah Museum Fatahillah, Museum Bank Indonesia, Musem Bank Mandiri, Jembatan Kota Intan, Pelabuhan Sunda Kelapa, Menara Syahbandar, dan sebagainya.
Museum Fatahillah, jantung Kota Tua Jakarta, menyimpan ribuan artefak yang menceritakan kisah peradaban Nusantara. Setiap sudut museum seakan membawa pengunjung melakukan perjalanan waktu ke masa lampau.
Nah, mengunjungi tempat-tempat bersejarah tersebut semakin afdol jika wisatawan memahami secara singkat sejarah Kota Tua Jakarta.
Sejarah Kota Tua Jakarta
Pokjawarkotu merangkum sejarah Kota Tua Jakarta sebagai berikut. Agar mudah memahami sejarah Kota Tua Jakarta, maka kita bisa merunutnya berdasarkan periode pendudukan.
Dalam Sejarah Singkat Kota Jakarta, dari berbagai sumber menyebutkan, bahwa Kota Tua Jakarta juga dikenal sebagai Kota Batavia Lama atau Oud Batavia. Kawasan ini dulunya merupakan pusat pemerintahan Batavia, dengan luas wilayah sekitar 15 hektare.
Sunda Kelapa (397-1527)
Tidak jauh dari kawasan Kota Tua Jakarta, terdapat pelabuhan Kerajaan Sunda, yakni Pelabuhan Sunda Kelapa atau Pelabuhan Sunda Kalapa yang berlokasi di muara Sungai CIliwung.
Sementara, ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh selama dua hari perjalanan dari Pelabuhan Sunda Kelapa.
Pada abad ke-12, Pelabuhan Sunda Kelapa dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing dari China, Jepang, India, berlabuh di pelabuhan ini dengan membawa barang dagangan seperti porselen, kopi, sutra, kain, dan sebagainya untuk ditukar dengan rempah-rempah.
Jayakarta (1527-1619)
Pada 1527, terjadi pendudukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah dari Kesultanan Demak. Nama Jayakarta berarti kemenangan. Oleh sebab itu, Hari Ulang Tahun (HUT) Jakarta ditetapkan pada 22 Juni 1527 berdasarkan pendudukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah, yang kemudian berganti nama menjadi Jayakarta.
Selanjutnya, pemerintahan Jayakarta dipegang oleh Maulana Hasannudin dari Kesultanan Banten.
Batavia (1619-1942)
Selanjutnya, orang Belanda mulai datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16. Pada 1619, kongsi dagang Belanda, atau VOC yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon (JP) Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan dari Kesultanan Banten.
Kemudian, Belanda mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia, yang merupakan nama leluhur bangsa Belanda yaitu Batavieren. Selama masa pemerintahan kolonial Belanda, Batavia berkembang pesat. Rancangan Kota Batavia dibuat oleh Simon Stevin, yang didesain untuk menjadi ibu kota kerajaan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai dengan Jepang.
Kala itu, kawasan Kota Tua Jakarta merupakan pusat kota sekaligus pusat pemerintahan. Balai kota Batavia berada di bangunan Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta sekarang ini.
Sementara, bentuk Kota Batavia direncanakan sesuai dengan kebiasaan Belanda, yakni dilengkapi jalan-jalan lurus dan parit-parit. Sepeninggal JP. Coen pada 1629, perkembangan Kota Batavia semakin pesat.
Dibangun gudang, bengkel kayu dan galangan kapal, Kali Besar yang semula berkelok diubah menjadi lurus, dan sebagainya.
Daerah sekitar Kali Besar dijadikan hunian elit pejabat Belanda. Salah satunya adalah Toko Merah yang hingga kini masih berdiri kokoh. bangunan yang didirikan pada 1700-an ini, dulunya berfungsi sebagai rumah dinas Gubernur Jenderal Belanda.
Sempat berganti fungsi beberapa kali, hingga akhirnya bangunan ini diambil alih warga Tionghoa yang kemudian digunakan sebagai toko, sekitar abad ke-20.
Kemunculan wabah
Penyakit Sayangnya, kejayaan Kota Batavia mulai redup saat muncul wabah penyakit, yang sekarang diduga sebagai malaria, disentri, dan kolera sekitar tahun 1732.
Air di kawasan Batavia tercemar sehingga menjadi sumber penyakit bagi masyarakat.
Kondisi tersebut, diperparah dengan serentetan gempa bumi yang mengguncang Batavia. Gempa tersebut mengakibatkan longsoran gunung, yang mengotori sumber air. Tak pelak lagi, Batavia penuh dengan lumpur.
Ironisnya, bencana tersebut tidak ditanggulangi dengan baik oleh pemerintahan kolonial Belanda ketika itu, serta minimnya fasilitas kesehatan.
Akibatnya, pada 9 Mei 1821, dilaporkan sebanyak 158 orang meninggal dunia akibat kolera dan tiga hari kemudian jatuh 733 korban lagi di seluruh wilayah Batavia. Tragedi ini menjadi akhir dari kisah Batavia Lama Kota Batavia Lama atau Oud Batavia.
Selanjutnya, dibentuk Batavia Baru atau Niew Batavia di tanah Weltevreden (sekarang sekitar Gambir, Jakarta Pusat). Pusat pemerintahan pun turut diboyong ke kawasan Batavia Baru tersebut.
Jakarta usai merdeka
Setelah Indonesia merdeka, nama Jakarta resmi dipakai. Selain itu, Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota Indonesia dengan pusat pemerintahan di kawasan Istana Merdeka sekarang ini.
Guna meninggalkan warisan kolonial, Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu yang menjabat sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia Serikat (RIS) menegaskan, sejak 30 Desember 1949 tak ada lagi sebutan Batavia.
Sementara itu, Kota Tua menjadi destinasi wisata sejarah yang populer di Jakarta. Sembari berekreasi, pengunjung bisa mempelajari sekaligus menyaksikan beragam saksi sejarah perkembangan Jakarta.
Kota Tua Jakarta, juga dikenal dengan sebutan Batavia Lama (Oud Batavia), adalah sebuah wilayah kecil di Jakarta, Indonesia. Wilayah khusus ini memiliki luas 1,3 kilometer persegi melintasi Jakarta Utara dan Jakarta Barat (Pinangsia, Taman Sari dan Roa Malaka).
Dijuluki “Permata Asia” dan “Ratu dari Timur” pada abad ke-16 oleh pelayar Eropa, Jakarta Lama dianggap sebagai pusat perdagangan untuk benua Asia karena lokasinya yang strategis dan sumber daya melimpah.
Tahun 1526, Fatahillah, dikirim oleh Kesultanan Demak, menyerang pelabuhan Sunda Kelapa di kerajaan Hindu Pajajaran, kemudian dinamai Jayakarta. Kota ini hanya seluas 15 hektare dan memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa.
Tahun 1619, VOC menghancurkan Jayakarta di bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Satu tahun kemudian, VOC membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren, leluhur bangsa Belanda. Kota ini terpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung, saat ini Lapangan Fatahillah.
Penduduk Batavia disebut “Batavianen”, kemudian dikenal sebagai suku “Betawi”, terdiri dari etnis kreol yang merupakan keturunan dari berbagai etnis yang menghuni Batavia.
Tahun 1635, kota ini meluas hingga tepi barat Sungai Ciliwung, di reruntuhan bekas Jayakarta. Kota ini dirancang dengan gaya Belanda Eropa lengkap dengan benteng (Kasteel Batavia), dinding kota, dan kanal. Kota ini diatur dalam beberapa blok yang dipisahkan oleh kanal. Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650.
Batavia kemudian menjadi kantor pusat VOC di Hindia Timur. Kanal-kanal diisi karena munculnya wabah tropis di dalam dinding kota karena sanitasi buruk. Kota ini mulai meluas ke selatan setelah epidemi tahun 1835 dan 1870 mendorong banyak orang keluar dari kota sempit itu menuju wilayah Weltevreden (sekarang daerah di sekitar Lapangan Merdeka).
Batavia kemudian menjadi pusat administratif Hindia Timur Belanda. Tahun 1942, selama pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta dan masih berperan sebagai ibu kota Indonesia sampai sekarang.
Tahun 1972, Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, mengeluarkan dekret yang resmi menjadikan Kota Tua sebagai situs warisan. Keputusan gubernur ini ditujukan untuk melindungi sejarah arsitektur kota — atau setidaknya bangunan yang masih tersisa di sana.
Meski dekret Gubernur dikeluarkan, Kota Tua tetap terabaikan. Banyak warga yang menyambut hangat dekret ini, tetapi tidak banyak yang dilakukan untuk melindungi warisan era kolonial Belanda.
Bangun yang Dihancurkan
Dalam pengembangan daerah Jakarta, beberapa bangunan atau tempat yang berada di daerah kota Tua Jakarta dihancurkan dengan alasan tertentu. Beberapa tempat tersebut adalah:
Benteng
Batavia dihancurkan antara 1890–1910, beberapa material digunakan untuk pembangunan Istana Daendels (sekarang Departemen Keuangan Nasional)
Gerbang
Amsterdam (lokasinya berada dipertigaan Jalan Cengkih, Jalan Tongkol dan Jalan Nelayan Timur. Dihancurkan untuk memperlebar akses jalan) dihancurkan pada tahun 1950an untuk pelebaran jalan.
Jalur Trem Batavia
Jalur ini pernah ada di kota Batavia, tetapi sekarang sudah ditimbun dengan aspal. Karena Presiden Soekarno menganggap Trem Batavia yang membuat macet
Beberapa bangunan berada dalam kondisi mengenaskan kebanyakan akibat kepemilikan bangunan yang tidak jelas.
EA